Bicara Kopi #1

Beberapa hari yang lalu kurang lebih sekitar pukul 22.30 WIB saya bersama adik saya memutuskan untuk berkuliner malam. Sebenarnya ketika saya pulang ke rumah orang tua saya, kami selalu menyempatkan untuk jalan-jalan, sekedar ingin merasakan sapaan angin dengan mengitari jalanan kota tanpa tujuan yang jelas. Tempat yang kami tuju adalah pangkalan penjual mie pangsit di daerah Kali Tutup, Pasar Gresik. Di situ juga terdapat warung kopi pinggiran, seperti kebanyakan warung kopi yang telah menjamur di kota ini.
Tidak lama setelah kami memesan, datanglah penjaga warung dengan membawa satu gelas kopi dan satu gelas teh hangat. Karena kebetulan hari itu adalah hari Rabu, jalanan terlihat lengang. Akan sangat berbeda ketika akhir pekan, jalanan ini adalah arenanya para penikmat kopi dan pemburu kuliner malam. Namun kopi malam itu membawa saya pada satu keprihatinan. Lagi-lagi kemajuan teknologi menjadi sebuah dilematik. Warung kopi yang dahulunya identik ramai orang bercakap-cakap, berdiskusi, dan banyak hal lain yang sarat akan kehangatan bercengkrama kini perlahan namun pasti telah digantikan oleh gawai masing-masing. Para pemilik warung berlomba memberikan layanan wiFi gratis agar pelanggan banyak berdatangan dan betah berlama-lama (dengan harapan banyak yang akan dibeli di warung, tapi malah sebaliknya. Kopi satu gelas, wiFi sampai pagi!). Bagi saya warung kopi kini tak ubahnya seperti warung internet, atau warnet. Orang-orang yang ada di warung kopi tidak lagi ramah, justru sibuk dengan berbagai pencitraan di dunia maya atau dunia permainan yang tidak jelas itu nyata kemenangan atau sebatas pelarian dari rasa kesepian dan kosong dalam jiwa? Kopi yang telah disuguhkan dibiarkan dingin begitu saja. Miris.

Kopi boleh jadi dingin, tapi kebersamaan harus tetap hangat. - Anonim

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Kerja # Wanita (Mampu) Multitasking