Hari Ke-21 Di Bulan April

Assalamu'alaikum, wr., wb.,

Selamat pagi mentariku, bagaimana keadaanmu di sana? Lihatlah pesona desiran ombak Laut Jawa menggambarkan kelihaian wanita Nusantara. Jagad pikirku terbang menelusur riwayat keagungan pribadimu. Kuselami goresan tanganmu yang terangkai indah penuh gelora pada memori indah surat-suratmu kala itu.

Mentariku, hari ini tak sengaja kutemukan buku yang telah memudar. Paras kecantikanmu memancar seketika, ketika ku amati sampul buku tua ini. Mungkin tak banyak yang 'tergugah' untuk membacanya, karena dizamanku kini semua tentang sejarah dan budaya masa lalu adalah hal yang membosankan dan kuno. Keingin tahuanku pada sosok pribadimu akan aku coba cari jawabannya. Aku tak ingin hanya sekadar tahu melalui foto-foto yang menampilkan paras manismu, atau membaca puisi, mengarang cerita, serta perayaan mengenakan baju kebaya dan bersanggul disetiap tanggal kelahiramu 21 April sebagai Hari Kartini. Bagaimana aku bisa menghargai jasa-jasamu dan menghormatimu tanpa mengenalmu, Bu? Aku sebenarnya tak cukup perlu semua itu, cukup bagiku ada namamu yang terukir dihatiku, dan semua hari-hari yang aku jalani menjadi peringatan atas semua pengorbananmu. Melalui buku ini, ku bawa diriku pada masa hidupmu ...

Mentariku, tak kuasa aku menahan air mata membaca penjabaran pribadimu yang begitu luar biasa, tersembunyi dibalik kesederhanaan. Trinil kecil yang tumbuh cerdas mewarisi ketajaman berpikir sosok sang kakek dan ayahnya. Tumbuh begitu cepat tanggap menangkap pelajaran mengasuh adik-adiknya hanya dengan mengamati sang ibu. Ketika Trinil kecil yang gemulai berangsur remaja, tiada waktu luang untuk bermain dan bersantai, dirinya selalu haus ilmu pengetahuan. Dan 'masa pingitan' itu pun tiba, ketika usianya beranjak 12 tahun. Luluh lantah hatinya ketika tradisi bangsa pribumi kini harus ia jalani. Hati kecilnya berontak, namun bibir tak berani berucap untuk menolak. Pandanganmu tentang penciptaan laki-laki dan perempuan dimata Tuhan adalah sama. Emansipasi sungguh merupakan keinginan terbesarmu. Demi cinta dan kasih sayangmu kepada orang tuamu-lah, engkau korbankan segalanya. Penjara cita-citamu kau jadikan sarang indah untuk membuka lebar jendela dunia dengan membaca dan merangkai kata pada lembar-lembar surat penyambung kerinduan untuk sahabat. Engkau tetap saja haus bagai pendaki musafir padang pasir yang tiada lelah mencari mata air. Sempat kau rasakan kebebasan menghirup kesegaran udara bumi pertiwi, sebelum akhirnya laki-laki itu datang melamar dan menikahimu. Jiwamu telah berubah makin tawakal dan bertambah sabar. Emansipasi, pendidikan, kebangsaan, keagamaan, hingga nasib para pewaris seni tak pernah luput dari sudut pandangmu dimasa mendatang. Mengapa Tuhan memanggilmu begitu cepat sebelum sempat engkau merasakan kebahagiaan sepenuhnya atas putra kandungmu dan melihat keberhasilan menjadi pelopor emansipasi yang menjadi cita-cita terbesar dalam hidupmu. Ah, Mentariku ...

Mentariku, cara hidup pada masamu sangatlah jauh berbeda dengan cara hidup yang berlaku pada masaku kini. Budaya bangsa sendiri terasa begitu rumit. 'Kebebasan' yang engkau cita-citakan memang telah terwujud, namun disalah artikan generasi masa kini. Para wanitanya tak lagi mau tahu tata krama, budaya timur yang dulu amat lekat dimasamu dibiarkan begitu saja kian lama tergerus budaya dunia barat, seakan-akan tradisi budaya lama harus dihancurkan oleh generasi baru untuk tradisi yang baru. Bangsa kita memang telah merdeka, tapi bukan berati nilai-nilai pencerminan bangsa ini harus berubah. Sungguh menyedihkan Mentariku, dengan alasan ekonomi banyak wanita yang mengorbankan kehormatannya demi sesuap nasi untuk menopang hidup esok hari. Menjadi korban kekerasan saat mereka menjadi pahlawan devisa bagi negara ini, dan lagi-lagi sebagai korban kekerasan ataupun pelampiasan nafsu kaum laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Mentariku, di negara kita kini telah banyak pengakuan lembaga hukum untuk wanita, tapi semuanya membisu seolah membiarkan semua pelanggaran HAM kaum wanita terus terjadi dan berulang. Jika sudah begini siapakah yang bersalah?

Dimasamu, untuk bersekolah saja begitu banyak tantangan, tapi kini ketika banyak gedung-gedung masa depan itu telah terbuka lebar dan bantuan dana dari lembaga pemerintah maupun swasta demi kemajuan kualitas punggawa bangsa dengan anggaran yang begitu besar seolah menjadi suatu hal yang memiriskan, bagaimana tidak? Banyak 'kasus' seorang siswi/mahasiswi harus berhenti bersekolah hanya karena salah dalam pergaulan. Sehingga harus menjadi ibu sebelum waktunya, terjerat narkoba, dan sebagainya.

Mentariku, kini sejatinya banyak wanita yang kehilangan jati dirinya sendiri, memasak, mencuci, menjahit, merawat bunga, adalah hal kecil yang seharusnya bisa dilakukan tiap wanita. Tapi tidak dimasa kini, banyak wanita yang enggan karena merasa risih ataupun tidak bisa sama sekali untuk melakukan hal tersebut. Semuanya ingin serba instan, membayar pembantu dan mempekerjakan pengasuh untuk anak. Lalu bagaimana mereka bisa mengurus rumah tangga mereka, kalau hal-hal sekecil itu tidak bisa mereka lakukan. Bagaimana nasib bangsa ini kelak, karena bukankah berawal dari rumah tangga itulah yang akan melahirkan tunas bangsa.

Mentariku, andai sifat-sifatmu ada pada diriku, akan aku teruskan perjuanganmu dimasaku. Memang tak ada celah bagi diriku untuk mencari kekuranganmu. Segala yang ada pada diri, hati, sikap, pikiran, harapan, cita, angan, dan riwayat hari-harimu adalah alasan mengapa aku dan wanita nusantara harus mengagumimu. Memang benar engkau bagai mentari pagi, yang terlahir dengan sejuta pesona setelah berlalunya kegelapan malam.

Mentariku, ku harap engkau tetap pada kebanggaan kaummu dimasa kini. Engkau mungkin tak diberi Tuhan kesempatan menyaksikan emansipasi yang telah begitu gigih engkau perjuangkan. Tapi lihatlah dari sisimu Mentariku, generasi penerusmu telah banyak turur andil membangun kejayaan bangsa ini. Ibu Megawati dan Ibu Sri Mulyani adalah sebagian dari sekian banyak kartini-kartini muda yang kini akan terus bermunculan.

Mentariku, ku akui engkaulah sang pena sejati. Bahasa di tiap suratmu begitu mengagumkan, tegas, mendalam, dan sarat akan makna. Ku harap surat yang aku tulis ini tidak memalukan untuk aku persembahkandi hari ulang tahunmu. Meskipun ragamu tak lagi dapat aku lihat di kedua pelupuk mataku. Aku yakin disetiap hati para wanita Indonesia akan selalu ada namamu. Semoga Allah menempatkanmu di tempat keabadian terindah bersama orang-orang shalih, Cita-citamu untuk kaum wanita telah tercapai mentariku. Dan engkaulah kebanggaan kami.

Gresik, 04 April 2013

Yoestika Ilhamiyah


(SMK NU Trate Gresik - Jl. KH. Abdul Karim 60 Gresik)

Comments

Popular posts from this blog

Dunia Kerja # Wanita (Mampu) Multitasking